Hospice: Tempat Perawatan Orang yang Hampir Meninggal

Beberapa tahun lalu, tetangga saya mengidap kanker payudara, setelah melakukan operasi di tanah air sebelumnya, namun penyakit kanker terlanjur menyebar ke bagian punggung. Selanjutnya Beliau memutuskan berobat ke negara jiran, terkendala biaya ―sementara penyakit kankernya itu telah memasuki stadium akhir, akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk menghentikan pengobatan. Sampai akhir hayatnya beliau meninggal di tempat tidur 2 bulan kemudian.
Kejadian diatas merupakan sebagian kecil cerita, dimana banyak orang yang menghadapi kematian setelah pasien mengidap penyakit terminal diputuskan untuk dirawat di rumah sampai ajal menjemput. Meskipun bidang kedokteran mempunyai kemungkinan untuk memperpanjang kehidupan pasien (life-prolonging medical treatment) keputusan pasien dan anggota keluarga dengan pertimbangan ekonomi kerab menjadi pilihan bersama-sama dengan membiarkan pasien yang sakit terminal untuk meninggal.
Di Indonesia segera perlu didirikan sebuah tempat tinggal dimana diberikan perawatan kepada pasien-pasien yang hampir meninggal. Tempat perawatan orang yang hampir meninggal disebut dengan istilah hospice. Jumlah penduduk Indonesia yang tinggi maka sekiranya perlu didirikan hospice sebagai bentuk pelayanan kesehatan medis kepada masyarakat oleh Pemerintah (negara) kepada rakyatnya yang dilindungin Undang-undang. Sebagai perwujudan kemakmuran dan nilai-nilai kemanusiaan, sekira pemerintah perlu membangun fasilitas tersebut untuk warganya.
Perlunya tempat perawatan tersebut didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan semata, menyerupai rumah sakit, dan adanya tenaga medis yang bertugas melayani secara professional dengan konsep inti untuk perawatan orang-orang yang hampir meninggal dengan pertimbangan kemanusiaan dan menolong keluarganya melakukan pilihan terakhir secara lebih bermartabat dan terkendali.
Berbeda dengan Rumah Sakit
Hospice berbeda dengan rumah sakit pada umumnya, meskipun memiliki perlengkapan medis, hospice lebih menekankan pada pelayanan dalam menghibur pasien menjelang akhir hidupnya. Hal ini bukanlah berarti tindakan bantuan harapan untuk hidup tidak diberikan lagi. Paramedis tetap memberikan pelayanan bantuan medis lainnya yang dibutuhkan.
Tenaga medis bekerja berdasarkan ketentuan-ketentuan khusus yang didasarkan pada penggunaan prosedur untuk mempertahankan hidup (life-sustaining procedures) pada pasien. Namun demikian, keputusan dan diskusi dengan anggota keluarga atau wali yang resmi merupakan hal yang utama dalam menentukan tindakan medis selanjutnya pada pasien yang hendak meninggal.
Tenaga medis dari multi disiplin ilmu, dokter, dokter psikiatrik, psikolog, pekerja sosial dan sukarelawan yang terlatih bekerja secara bersama-sama dalam memberikan pelayanan dan bantuan kepada pasien, perawatan ini berupa pendekatan-pendekatan psikologis kepada pasien secara teratur, mempertahankan kontak mata, menyentuh dengan tepat, mendengarkan perkataan pasien, dan menjawab semua pertanyaan pasien dengan menghargai dan bijaksana.
Karena hospice berbeda fungsinya dengan rumah sakit, maka haruslah didesain dengan ramah, memberikan kenyamanan dan sifatnya kekeluargaan. Ruangan lebih mirip dengan rumah, tersedia ruangan atau tempat kunjung keluarga. Tujuannya adalah menghibur pasien dan anggota keluarga. Hal yang paling penting adalah biaya harus lebih murah dibandingkan rumah sakit umum untuk perawatan yang sama.
Tenaga medis hospice dapat juga bekerja di rumah pasien atau juga bagian dari perawatan dirumah atau merupakan terpisah dari hospice sendiri yang diakui oleh pemerintah (home health care agencies) seperti yang ada di negara Amerika Serikat, tenaga medis ini menerima pelayanan perawatan di rumah pasien yang diminta oleh pihak keluarga. Biaya perawatan diklaim selanjutnya kepada pemerintah berdasarkan ketentuan dan syarat yang berlaku.
Pasien Khusus
Pasien yang diterima di hospice merupakan pasien khusus yang telah ditentukan oleh tenaga medis professional. Meskipun terjadi perbedaan atau ketidakmampuan manusia dalam menentukan panjang usia pasien yang mengidap penyakit terminal, tenaga medis tidak serta merta berpegang pada penentuan usia harapan hidup. Misalnya pasien yang menderita kanker stadium IV, secara medis harapan usia hidup sangat pendek, namun beberapa pasien dapat hidup lebih lama dari dugaan sebelumnya.
Ketika pertama sekali hospice dibangun sekitar tahun 1960an, Dame Cicely Saunders memperuntukkan hospice kepada pasien kanker stadium IV, saat ini diperkirakan ada 1.800 unit perawatan orang-orang yang hampir meninggal di Amerika Serikat. Sebagian besar pasien yang adalah orang-orang yang hampir meninggal termasuk orangtua yang telah lanjut usia yang mengalami sakit (timely death)
Pasien dengan kondisi tertentu yang secara medis dapat ditetapkan berdasarkan pengertian kematian secara medis. Misalnya pasien yang mengalami kematian otak (brain-dead) dimana pasien mengalami disfungsi keseluruhan otak yang ireversibel, atau pasien yang bertahan hidup dari alat-alat restitusi.
Pasien AIDS merupakan salah satu contoh perlunya hospice untuk pasien yang hampir meninggal. Meningkatnya epidemik AIDS merupakan sebuah tantangan bagi sistem perawatan medis dan kesehatan mental bagi tenaga medis, pekerja sosial , dan juga bagi pasien serta keluarganya.
Tantangan Berat bagi Tenaga Medis
Menghadapi pasien-pasien yang hampir meninggal memberikan beban mental yang berat tenaga medis yang bekerja di hospice. Pasien-pasien di hospice membutuhkan perhatian konstan dan pelayanan bantuan termasuk didalamnya kemampuan dalam menghibur secara menyeluruh ketika pasien memasuki tahap-tahap sindrom kematian (burned-out syndrome).
Tenaga medis haruslah menguasai aspek-aspek psikologis yang baik dan terlatih dalam menghadapi situasi kematian pasien, termasuk didalamnya kemampuan dalam memberikan dukungan kepada keluarga pasien.
Tuntutan kerja yang tinggi, konsentrasi, empati, jam kerja yang padat, pengendalian diri, kemampuanbersosialisasi yang baik merupakan tuntutan aspek kerja di hospice yang tentunya akan memberikan dampak buruk kepada pekerja sosial dan tenaga medis dikemudian hari. Manajemen hospice haruslah memperhatikan aspek-aspek ini agar pekerja sosial dan tenaga medis tidak mengalami burn-out atau kelelahan mental karena pekerjaan ini.
Diskusi
Menurut Anda perlukah hospice dibangun secara merata di Indonesia?

Sayed Muhammad adalah lulusan psikologi Universitas Islam Indonesia, ia adalah perintis dan penulis tetap di website ini.
Leave a Reply
Be the First to Comment!