Identitas Universitas Islam

Dalam kesempatan ini saya ingin membuka kembali wacana tentang Universitas Islam. Persoalan ini penting untuk kita bahas karena seringkali identitas keislaman perguruan tinggi Islam hanya terletak pada visi, misi, tujuan perguruan tinggi, namun belum dapat diturunkan dalam kurikulum maupun dalam berbagai macam hal operasional lainnya. Kalau dalam perguruan tinggi Islam dapat masuk sejumlah matakuliah keislaman yang jumlahnya mencapai belasan hingga puluhan SKS, namun ia belum memiliki paradigma ilmu yang sesuai dengan pandangan dunia Islam (Islamic world view). Tulisan ini juga akan melihat pentingnya Universitas Islam aspek moralitas saat menyeleksi mahasiswa baru.
Kriteria Universitas Islam
Saya ingin mengutip salah satu pandangan tentang Universitas Islam. Dalam buku The Concept of Islamic University yang ditulis oleh Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf diungkapkan bahwa ciri Universitas Islam adalah memiliki konsep pendidikan yang bersandar pada tauhid, konsep ilmu yang diajarkan bersandar pada al-Qur’an dan al-Hadits, staf pengajar yang menjunjung tinggi nilai Islam, mahasiswa yang terseleksi dengan memperhatikan aspek moralitasnya (di samping tentu aspek akademisnya), pimpinan dan staf yang berdedikasi dan cerdas, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti masalah konsep ilmu yang berdasar pada al-Qur’an dan al-Hadits dan masalah seleksi mahasiswa. Adakah sains yang Islami? Dalam kurun lebih kurang tiga puluh tahun ini, ilmuwan Islam mengembangkan wacana yang namanya islamisasi pengetahuan (Islamization of Knowledge). Tokoh-tokoh utamanya di antaranya adalah Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Osman Bakar, dan sebagainya. Gagasan islamisasi ilmu ini dilatarbelakangi oleh konsep ilmu pengetahuan yang diterima dan dikembangkan umat Islam masih menggunakan paradigma sains barat. Sains barat, sebagaimana diketahui, dikembangkan dengan menafikan kebenaran yang bersumber dari kitab suci. Kebenaran menurut mereka disandarkan pada akal dan realitas. Ciri-ciri sains barat sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo adalah sekuler dengan menggunakan etika humanisme. (Hal ini berbeda dengan paradigma ilmu Islam yang bersifat integralistik dengan menggunakan etika humanisme-teosentris).
Dalam buku The Islamization of Knowledge, Ismail al-Faruqi mengusulkan agar mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah ilmu pengetahuan moderen. Proyek ini dilestarikan oleh sejumlah perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, Universitas Islam Antar Bangsa (International Islamic University) Malaysia mewajibkan setiap mahasiswa strata satu (program sarjana), strata dua (program master), hingga strata tiga (program doktor) untuk mengambil matakuliah yang namanya The Islamization of Knowledge.
Gagasan yang sarat nilai Islam ini mendapat tanggapan yang luas dari ilmuwan Islam. Hal ini terbukti dengan makin maraknya wacana ekonomi Islam, psikologi Islami, hukum Islam, Ilmu Politik Islam, dan sebagainya. Namun, sebagian ilmuwan Islam tidak menyetujui konsep Islamisasi Pengetauan yang ditawarkan al-Faruqi dkk. Kuntowijoyo dalam Islam Sebagai Sains adalah salah seorang yang tidak menyetujui gerakan Islamisasi Pengetahuan model al-Faruqi. Salah satu kritik Kuntowijoyo adalah masih menggunakan paradigma Barat. Gerakan Islamisasi ilmu masih terjebak dalam kerangka keilmuan Barat.
Apapun wacana yang dikembangkan, islamisasi pengetahuan atau ilmu sebagai sains, yang penting gagasan ini dapat diturunkan dalam wujud yang operasional. Ia seharusnya dapat masuk ke setiap kurikulum program studi yang ada di perguruan tinggi Islam. Ia seharusnya masuk dan memberi warna ke dalam setiap matakuliah yang ada pada setiap program studi universitas/perguruan tinggi Islam. Karenanya, menurut penulis, tidaklah cukup bila suatu perguruan tinggi Islam hanya menawarkan matakuliah keislaman seperti tauhid, ibadah, akhlak, al-Qur’an, al-Hadits, pemikiran dan peradaban Islam, kepemimpinan Islam. Sebagai contoh kongkrit, program studi psikologi universitas Islam mestinya berisi: psikologi umum Islami, psikologi kepribadian Islami, psikologi pendidikan Islami, psikologi perkembangan Islami, psikologi sosial Islami, psikologi klinis Islami, psikologi industri & organisasi Islami, Statistik Psikologi Islami, Psikodiagnostika Islami, dan sebagainya.
Bagi penulis, salah satu tugas yang perlu dilakukan secara bersama-sama oleh perguruan tinggi Islam di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya adalah menghidupkan gagasan untuk pengembangan ilmu yang beraparadigma Islam. Agenda-agenda Konferensi Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia juga semestinya menyentuh masalah ini.
Seleksi Mahasiswa
Tidak mudah mendapatkan mahasiswa. Universitas Islam khususnya dan Perguruan Tinggi Islam umumnya mendapatkan mahasiswa yang tidak berhasil menembus perguruan tinggi negeri. Sekalipun demikian, identitas Islam kadang membuat seorang calon mahasiswa rela untuk meninggalkan peluang kuliah di perguruan tinggi negeri. Saya menemukan sejumlah mahasiswa di Universitas Islam Indonesia yang memilih UII dan rela meninggalkan panggilan dari Rektor PTN terbesar di Indonesia. Alasannya adalah kuliah di Universitas Islam menjadikan mahasiswa memahami ilmu dan Islam sekaligus.
Sedikit dan banyaknya pendaftar ternyata mempengaruhi seleksi. Seleksi akan memilah mahasiswa yang diinginkan dan mahasiswa yang tidak memenuhi syarat. Yang jadi persoalan adalah kriteria yang digunakan untuk seleksi. Sebagian besar perguruan tinggi Islam menggunakan pengetahuan agama Islam sebagai dasar untuk melakukan seleksi terhadap mahasiswa yang akan mereka terima, di samping kriteria yang lain. Menarik untuk mengangkat pandangan dari Bilgrami dan Ashraf sebagaimana mereka tulis dalam buku The Concept of Islamic University. Dua orang menawarkan aspek moralitas sebagai seleksi mahasiswa baru.
Moralitas adalah masalah kebaikan dan keburukan. Seleksi berdasarkan moralitas adalah seleksi dengan meletakkan kebaikan dan keburukan sebagai dasar untuk penerimaan mahasiswa baru. Mahasiswa yang tersleksi secara akademik tentu harus memiliki syarat minimal. Namun, kekuatannya di aspek moralitas diharapkan dapat menjadi kekuatan bagi yang bersangkutan untuk bertindak secara benar. Dengan seleksi moralitas ini akan dapat disaring mana mahasiswa yang baik (berpotensi baik) dan mahasiswa yang buruk (berpotensi buruk). Dengan cara seleksi yang baik ditambah dengan ketersediaan orang untuk diselsksi akan dimungkinkan mahasiswa yang dimiliki universitas/perguruan tinggi Islam akan berbeda dengan generasi sebelumnya.
Sekalipun demikian, universitas/perguruan tinggi Islam yang memposisikan dirinya sebagai bengkel (tempat memperbaiki sumber daya manusia) bagi mahasiswa baru dapat saja tetap menerima mahasiswa yang moralitasnya tidak memadai. Kalau ini dilakukan, maka proses pendidikan selama menempuh pendidikan tinggi harus dibuat sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan dapat mengalami transformasi moral. Pendampingan atau pembinaan kepada yang mahasiswa harus dilakukan dengan menekankan pengembangan moral. Staf pengajar dan pegawai administratif yang juga meletakkan moralitas sebagai dasar seluruh pemikiran, sikap, dan perilaku akan menjadi lingkungan yang menumbuhkembangkan moralitas mahasiswa. Begitu juga dengan proses belajar mengajar yang berparadigma moral. Ia memiliki kekuatan untuk memproses demi sedikit mahasiswa menjadi pribadi yang bertransformasi.
Bila lulusan universitas Islam sudah menyelesaikan studinya dan mereka mencari atau menciptakan sendiri pekerjaan, maka mereka akan menjadi kekuatan baru bagi bangsa bahkan umat manusia. Orang muda yang profesional ini akan mengubah peta moral dunia.
Demikian.
Bagaimana menurut Anda?
Penulis
Fuad Nashori adalah salah seorang pelopor dan ahli di bidang Psikologi Islami, sehari-hari beliau menjabat sebagai Ketua Umum PP Asosiasi Psikologi Islami Indonesia dan Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, (UII) Yogyakarta. Fuad Nashori adalah penulis tetap untuk rubrik Psikologi Islami di website ini