Meredakan Amarah

Alkisah, dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib berhasil mengalahkan lawannya. Ali berhasil memukul pedang lawannya hingga terlempar. Kemudian, Ali menjatuhkan lawannya hingga tak berkutik di tanah. Ali lalu menudingkan ujung pedangnya di leher lawannya tersebut. Ia tinggal menusukkannya.
Namun tiba-tiba lawannya yang tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali kaget. Ia lalu mengusap lelehan air ludah di wajahnya. Ali terdiam sesaat, kemudian menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawannya. Padahal, hanya dengan satu gerakan kecil saja, Ali bisa membunuhnya. Seseorang lalu bertanya. Ia heran kenapa Ali malah pergi dan bukan membunuh musuhnya, bahkan diludahi segala. Ali menjawab, “Karena aku diludahi, maka timbul amarah dan rasa benci di dalam hati saya kepadanya. Karena itu saya meninggalkannya.” Lanjut Ali, “Betapa marahnya Tuhan kepada saya kalau saya membunuhnya karena disebabkan oleh amarah dan kebencian.” Sebuah jawaban yang sulit dimengerti. Manusia macam apa ini? Musuh sudah tidak berkutik, ditambah menghina dengan meludahi muka, kok malah diampuni. Alasan Ali, jihad fisabilillah yang dilakukannya telah ternoda: membunuh atas dasar nafsu pribadi! Kebesaran jiwa seorang Ali tergambar jelas di sini. Ia tidak mau mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah.
Bolehkah Aku Marah?
[sdropcap]P[/sdropcap]ernah suatu hari, saya mengalami kejadian yang tidak mengenakan. Mungkin saya salah sampai memancing emosi gadis itu. Ia merasa sangat kesal. Nada suaranya menjadi lebih keras dan lebih bertenaga. Saking marahnya, tidak disangka, telapak tangannya mengayun keras ke pipi kiriku. Plak! Seumur-umur, baru sekali itu saya ditampar. Syukur, saya bisa menahan diri. Saya memilih untuk pergi. Semoga Tuhan mengampuninya. Mengubur nafsu amarah atau ingin membalas dendam memang membutuhkan perjuangan. Selama ini, di beberapa tempat, nafsu membunuh dan mengumbar dendam tak terelakkan. Apalagi emosi sudah di ubun-ubun, punya kesempatan, serta ada yang memprovokasi. Yang berhati lembut bisa berubah sangar, yang pengasih pun bisa beralih jadi brutal. Begitulah. Manusia memang gudangnya khilaf dan dosa. Mata sempurna, tapi penglihatan tertutup. Kemarahan, kalau tidak dikelola dengan hati-hati memang bisa kebablasan. Makanya, kemarahan itu tak patut diumbar. Kita hanya boleh marah secara wajar. Seperti kata Aristoteles, “Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah.”
Melampiaskan amarah terkadang dianggap sebagai salah satu cara mengatasi amarah. Katanya, bisa membuat orang yang marah merasa lebih baik dan nyaman. Anggapan ini jelas keliru. Pasalnya, berbagai penelitian mengisyaratkan bahwa melampiaskan amarah tidak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan meredakannya, meskipun terasa memuaskan.
Daniel Goleman, dalam bukunya yang sangat populer: Emotional Intelligence , mengutip hasil riset Diane Tice, seorang ahli psikologi pada Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk untuk meredakannya. Dikatakan dalam buku itu, ledakan amarah biasanya memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang justru lebih marah dan kehilangan rasionalitas, bukannya berkurang. Dari cerita orang-orang tentang saat-saat mereka melampiaskan amarahnya kepada seseorang, tindakan itu justru memperpanjang suasana marah, bukan menghentikannya. Yang jauh lebih efektif adalah terlebih dahulu menenangkan diri, kemudian, dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah, menghadapi orang yang bersangkutan dengan kepala dingin dan hati tulus untuk menyelesaikan masalah.
Sebuah tulisan berjudul “ Forgiveness ”, yang diterbitkan Healing Current Magazine edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan. Mereka lebih suka memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Saatnya Menahan Amarah
Amarah terkait erat dengan sikap atau perilaku yang cenderung mengarah pada penolakan atau menganggap musuh pada orang lain. Pintu utamanya adalah kontrol diri yang buruk yang kemudian mendatangkan sakit hati yang berat. Semua itu berjalan sesuai dengan naluri manusia untuk mempertahankan diri ( gharizah baqa ). Naluri ini ada pada setiap manusia normal. Naluri ini membutuhkan pemuasan. Sekalipun jika tidak terpenuhi tidak membawa kematian, namun menimbulkan kegelisahan. Islam memberikan arahan yang jelas untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia, termasuk amarah ini. Dalam telaah psikologi Islam, Dr. Abdul Mujib mengungkapkan bahwa amarah termasuk salah satu bentuk gangguan kepribadian ( personality disorder ), yang dalam terminologi Islam klasik disebut sebagai akhlak tercela ( akhlak madzmumah ).
Sebagaimana gangguan kepribadian lainnya, amarah dapat mengganggu realisasi dan aktualisasi diri seseorang. Itu sebabnya seorang pemarah tidak memiliki pertimbangan pikiran yang sehat. Ia juga tidak memiliki kontrol diri yang baik dalam ucapan maupun perbuatan, bahkan ia cenderung berpikir negatif terhadap maksud baik orang lain. Tidak berlebihan apabila Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan dan sejelek-jelek orang adalah orang yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha.” (HR. Ahmad)
Menurut Imam al-Ghazali dalam karyanya yang sangat mahsyur, Ihya’ Ulumuddin , amarah ( ghadhab ) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-hararah), yang mana unsur tersebut melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah ( al-ruthubah ) dalam diri manusia. Karena itu, pengobatan gangguan ini bukan dilawan dengan kemarahan, melainkan dengan kelembutan dan nasihat-nasihat yang baik. Kanjeng Nabi Saw berwasiat:
“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air, maka barangsiapa yang marah hendaklah berwudhu.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini selain menunjukkan sumber amarah, juga menunjukkan bagaimana terapinya. Wudhu dijadikan sebagai terapi amarah, karena air yang dibasuhkan pada bagian-bagian tubuh dapat mendinginkan dan menghilangkan ketegangan urat syaraf. Selain itu, wudhu mengingatkan psikis manusia agar berzikir kepada Tuhan-nya, sebab zikir dapat menyembuhkan penyakit batin. Kalau kita telusuri sejarah Nabi Muhammad Saw, kita akan tahu bahwa menahan amarah adalah salah satu teladan yang diajarkan beliau. Masih ingat kisah ketika Rasulullah selalu dilempari kotoran hewan oleh seorang Quraisy? Beliau tetap sabar dan berdoa semoga Tuhan membuka hatinya. Benar saja. Suatu hari Rasulullah mendengar orang itu sakit. Dengan kebesarannya, beliau menjenguk orang tersebut dan menghiburnya. Akhirnya, orang itu masuk Islam.
Rasul Saw sudah memberi teladan. Termasuk tak ada satu kata buruk pun dari mulut beliau atas ulah orang-orang kampung Thaif yang mengusirnya dan melemparinya dengan batu hingga berdarah. Kalau Rasulullah saja tidak pernah marah, bahkan bersikap lembut dan selalu memaafkan orang yang menghinanya, bagaimana mungkin orang yang mengaku mencintai beliau berani melakukan hal sebaliknya? Mahabenar Allah dalam firman-Nya:
Dan bersegerahlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-‘Imran [3]: 133-134)
Nah, mampukah kita mengamalkannya: tanpa dengki, dendam, sakit hati, dan kemarahan? “Bukanlah disebut kuat orang yang pandai bergulat. Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika ia marah,” begitu sabda Nabi Saw.

Leave a Reply
Be the First to Comment!